Thursday, April 14, 2011

"Blue Ocean" di Tepi Kanal Makarti Jaya

KOMPAS.com - Judul buku itu, “Blue Ocean Strategy”. Dicetak hard cover, buku berwarna biru itu kutemukan terselip di jajaran buku-buku yang tersusun rapi di rak. Lembaran paling belakang langsung kubuka, ternyata tak seorang pun pernah meminjam buku karya W. Chan Kim dan Renee Mauborgne itu. “Blue Ocean Strategy” tak bicara soal birunya laut, atau perikanan tangkap; hal-hal yang mungkin sangat menarik bagi warga Desa Makarti Jaya, sebuah desa di Muara Sungai Musi. Tapi “Blue Ocean Strategy”, berbicara panjang lebar mengenai pemasaran. Singkatnya, cara terbaik untuk menciptakan pasar tanpa pesaing.
“Orang di sini, tak suka baca buku yang berat-berat,” kata Lisnawati (25 tahun), paras manisnya bersemu merah, begitu sadar tak seorang pun pernah meminjam buku itu.
Meski berseragam hijau-hijau mirip hansip di kampung atau guru di Jakarta, Lisnawati masih berstatus pegawai honorer Dinas Perpustakaan, Arsip, dan Dokumentasi Daerah Kabupaten Banyuasin, Sumatera Selatan.  Dialah “penunggu” Rumah Baca di Desa Transmigrasi Makarti Jaya, yang disambangi Tim Jelajah Musi 2010, pada pertengahan Maret 2010 ini.
Letak desa itu sekitar 100 km dari Kota Palembang, dan hanya dapat dijangkau dengan perahu melalui Musi.  Rumah Baca itu bersih. Cat dindingnya sama sekali belum memudar, lantainya mengilat, meja di mana terletak bola dunia di atasnya juga bebas debu. Buku-buku pun dideretkan dengan rapi pada rak-rak buku di kedua sisi ruangan utama Rumah Baca itu.
Tak kurang 1.500 judul buku mengisi Rumah Baca, yang terletak hanya 20 meter dari tepi Kanal Makarti Jaya. Tema buku-buku itu sangat beragam. Saya membaca beberapa judul buku, dan sulit mempercayai buku-buku itu ada di Makarti Jaya.
Selain buku “Blue Ocean Strategy”, ada pula buku pengembangan kepribadian “The 8th Habits”, hingga “The Starbuck Experience”. Seperti The Blue Ocean Strategy, dua buku itu juga tak ada peminjamnya!

Starbuck Experience
Siapa yang menempatkan buku-buku itu? Apalah artinya “the Starbuck Experience”, bagi seorang transmigran yang belum pernah mencicipi kopi dan pelayanannya di kedai Starbuck? Bahkan, tak ada satu pun warung kopi di Makarti Jaya!
Lisnawati pun mengakui, mayoritas pembaca adalah anak-anak Sekolah Dasar. Yang dicari juga buku cerita, atau buku pengetahuan bergambar. “Sayangnya, buku-buku itu jumlahnya terbatas. Anak- anak itu pun kini merasa bosan, karena bukunya itu-itu saja,” ujar dia, setengah mengeluh, meski sejenak kemudian melemparkan senyum terbaiknya.
Mempersuasi seorang anak di Makarti Jaya untuk singgah di Rumah Baca, sudahlah sebuah perjuangan. Sebab anak-anak itu sering dipaksa membantu panen kelapa, atau menjemur gabah. Tapi mempertahankan anak-anak itu untuk tetap sering menyambangi Rumah Baca, agaknya juga merupakan tantangan tersendiri.
Terlebih, terbatasnya judul-judul buku yang menarik, menyusutkan pengunjung di Rumah Baca itu, dari rata-rata 50 orang pembaca per hari menjadi tinggal 20 orang pembaca. Semangat membaca yang telah membara pada diri pembaca muda itu, terancam mereda bahkan padam. Siapakah yang mau menjaga semangat itu, dengan pasokan judul-judul buku baru?
Lisnawati pun punya ide untuk melibatkan lebih banyak warga desa untuk mendatangi Rumah Baca, melalui “agen-agen perubahan”. Bagaimana caranya? Kata Lisnawati, dengan membujuk ibu-ibu singgah di Rumah Baca-nya.
Mungkinkah? “Bisa saja, asal ada buku memasak,” ujar Lisnawati, dengan penuh keyakinan.
Adakah pembaca budiman, yang mampu menjembatani keinginan Lisnawati, untuk menyemarakkan Rumah Baca-nya, sehingga mata penduduk desa pun kian terbuka.
Laporan wartawan Kompas, Haryo Damardono  (Diperoleh dari: http://regional.kompas.com) 

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Macys Printable Coupons